Minggu, 08 Januari 2012

kritik sastra

Kritik sastra
            Saya sudah membaca novel laskar pelangi karangan andrea hirata, Ada kritik bahwa alur pada cerita Andrea tanpa arah, itu betul karena Andrea tidak mengggunakan alur yang teratur, mundur atau maju. Setting waktu menjadi kabur dari bab ke bab, bahkan dari halaman ke halaman. Namun pembelaan saya atas karya Andrea ini adalah: ini adalah ciri khas Andrea, timeless, ageless dan borderless. Ciri khas yang dimunculkan Andrea karena sengaja atau memang karena berkenaan bahwa ia adalah pemain baru, belum pengalaman dan lain-lain, sehingga lupa dengan deskripsi waktu dan memberi alur yang lebih untuk  memudahkan pembaca.

Logikanyadimana?
       
            Kritik lain tentang Laskar Pelangi adalah logika yang juga tidak konsisten. Ada kesan beberapa narasi yang berlebihan dalam menggambarkan anak pedalaman yang serba kekurangan tapi bisa lebih hebat dari yang anak yang lebih mapan. Itu betul, tapi lagi-lagi saya membela Andrea bahwa ini adalah memoir yang diramu ke dalam bentuk sastra. Andrea juga bisa bermain dengan imajinasi, yang kadang dirasa berlebihan, dan mungkin juga karena pengalaman pertama menulis, dia sedikit terlupa akan logika atau mungkin Andrea tidak lengkap memberikan informasinya sehingga menimbulkan anggapan-anggapan tersebut. Dalam hal ini saya mencontohkan narasai mengenai karnaval dan tabla yang mereka pakai, dari manakan tabla itu? atau mengenai kecerdasan Lintang yang menurut Ikal “bukan buatan’”, kecerdasan yang melebihi silabus siswa SMP? ( kasus matematika integral contohnya,dimana penjelasannya?) Porsi kesalahan seperti ini kecil-kecil, tapi ada di beberapa bab dan itu sangat menggangu bagi beberapa orang (.. cerdas ). Namun kita harus tetap ancungi jempol pada novel fenomenal ini yang hebat dalam membuka wawasan dan memberi inspirasikita.

        Untuk masalah kritik bahwa Laskar Pelangi miskin dialog, nampaknya itu sudah di perbaiki Andrea pada Sang Pemimpi, walaupun narasinya masih sangat dominan. Pada novel kedua ini cirri khas Andrea yang timeless, ageless dan borderless masih sangat kuat. Namun inkonsistensi di awal cerita sudah cukup membuat keraguan baru. Sepertinya kita harus menerima kenyataan bahwa setelah Laskar pelangi, selanjutanya novel Andrea lebih dikuasai oleh imajinasi dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya terjadi. Ini akan menjadi catatan tersendiri karena pada Laskar Pelangi Andrea berhasil meyakinkan kita dengan menghadirkan Bu Mus dan beberapa personel Laskar Pelangi yang masih bisa ditemui lewat “Marioteguh”.

        Inkonsistensi ini tentang Arai, karakter yang menjadi tokoh utama pada Sang Pemimpi danEdensor.
       
            Nama yang tidak pernah sedikitpun disebut pada novel sebelumnya. Dengan border waktu selama 9 tahun dibawah asuhan Bu Mus, tokoh Arai tidak pernah ada. Padahal dalam sang Pemimpi disebutkan bahwa saat kelas 3 SD ayah Arai meninggal dunia dan keluarga Ikal mengasuh Arai. Segera setelah itu Arai menjadi sahabat Ikal, bahkan sebagai partner in crime. Lalu dimana Arai melanjutkan sekolah? Bukankah saat itu tidak ada sekolah lain disana selain sekolah para Laskar Pelangi? Bahkan tokoh Lintang harus menempuh 40 km pulang pergi untuk mencapai sekolah itu. Agak sulit ditelusuri dengan logika, atau memang ada informasi lain yang tidak disampaikan Andrea mengenai Arai? Mengapa?

                    Kecurigaan saya adalah pada tokoh hero yang dimunculkan oleh Andrea. Pada Laskar Pelangi ada Lintang ( katakanlah itu memang nyata dan ironis), pada Sang Pemimpi Andrea seperti membalaskan dendam akan raibnya tokoh Lintang sebagai hero sehingga ia memunculkan Arai sebagai penggantinya. Arai dilukiskan sebatangkara, tidak tampan, namun cerdas juga sehingga bisa menyertai Ikal menggapai semua mimpi itu?
Saya tidak yakin apakah tokoh Arai itu nyata, para pembaca sudah terlanjur menganggap bahwa tetralogi ini adalah kisah nyata, tapi mungkin kronologi cerita mungkin harus lebih diperjelas mengenai munculnya tokoh Arai ini.
Atau kita harus mulai memisahkan Laskar pelangi dan Sang Pemimpi serta Endensor? Hal ini berkaitan dengan muatan sastra dan imajinasi yang mungkin lebih banyak di kedua novel ini.
Polemik ini sungguh mementahkan semangat dan inspirasi yang dielu-elukan para pembaca.


            Kritik saya selanjutnya adalah menyangkut gaya. Pengarang menggunakan sudut pandang pertama. Narator merupakan salah satu tokoh dalam kisah, seorang anak Melayu Belitung. Pilihan sudut pandang orang pertama seperti ini punya keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri, dan saya pikir sebenarnya pengarang dapat mendayagunakannya dengan lebih baik.

            Yang mengganggu saya adalah narator berkisah seperti orang dewasa. Saya seperti membaca Andrea Hirata yang sudah besar bertutur kepada saya. Bahasa sang narator terlalu rumit dan terlalu modern untuk seorang anak kecil (atau remaja). Lalu kenapa? Bukankah memang kenyataannya demikian? Ya, namun dalam suatu novel narator tidak selalu harus dipandang sama dengan pengarang itu sendiri. Bila pengarang adalah lelaki Jawa berumur 20-an, naratornya bisa punya identitas lain: misalnya seorang Eropa yang tinggal di Indonesia, seorang perempuan tua Sunda berumur 70-an, atau seorang Cina yang mengungsi karena kerusuhan 1998. Dalam novel ini naratornya adalah anak kecil di pulau Belitung, namun suara yang terdengarmasihlahAndreaHiratadewasa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar